Minimnya partisipasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan kebijakan dan kekuasaan sering mendapat perhatian yang khusus dibandingkan dengan isu-isu lainnya. Pasalnya, politik yang mereka artikan sebagai setiap kegiatan dimana ada power structure relationship (hubungan kekuasaan secara structural) dan ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, dianggap merupakan ranah yang sangat strategis karena mencakup semua aspek kehidupan.
Para aktivis perempuan menuding, bahwa selama ini pola interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki, dan politik sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat kita yang patriarkis sehingga cenderung menjadikan peran politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi peran politik laki-laki, terutama jika sudah masuk di lingkaran kekuasaan dan legislasi. Kondisi inilah yang ditenggarai menjadi penyebab utama langgengnya praktek-praktek penindasan dan diskriminasi structural maupun kultural terhadap perempuan di seluruh aspek kehidupan; baik pada skala kehidupan, masyarakat, maupun Negara. Alasannya, dominasi laki-laki pada wilayah strategis tersebut sekaligus diduga akan menjadi alat legitimasi untuk lebih memarginalisasi dan mengabaikan hak-hak asasi kaum perempuan, termasuk melakukan penindasan dan eksploitasi terhadap mereka.
Oleh karena itu, wajar jika wacana mengenai pemberdayaan peran politik perempuan inilah yang akhirnya menjadi salah satu isu terpenting yang mencuat di tengah euphoria demokratisasi, yang secara lebih jauh memunculkan tuntutan untuk melakukan reinterpretasi atas logika dasar penataan interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki, dan politik.
Isu sentral perjuangan politik kaum feminis umumnya terfokus pada tiga hal yaitu ;
1. Masalah kepemimpinan perempuan dalam kekuasaan
2. Masalah tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen
3. Masalah tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu
Tiga unsur tersebut dianggap sangat strategis, Karena dalam logika mereka besarnya akses ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat kea rah yang lebih equal dan agaliter, dimana aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan. Dengan demikian, diharapkan apada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan.
Jika dicermati, terkristalnya keyakinan bahwa persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalsitik yang kini mendominasi kultur masyarakat kita. Dr. Mansour Fakih bahkan menyebut bahwa gerakan perempuan hakikatnya merupakan proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi. Pasalnya, yang menjadi tujuan gerakan perempuan adalah menciptakan hubungan antar sesame manusia yang secara fundamental baru, lebih baik dan adil, dan hal tersebut hanya mungkin dicapai melalui cara demokratisasi.
Hal ini karena, menurutnya demokrasilah yang memungkinkan terciptanya ruang kesempatan dan wewenang serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi adan aksi bersama, dengan prinsip kesamaan dan keadilan. Dari sisni, kita dapat memahami mengapa para ‘pejuang perempuan’ senantiasa intens terlibat dalam barisan pejuang demokrasi, bahkan mereka memasukkan agenda demokratisasi sebagai salah satu agenda perjuangan mereka.
Sebagaimana diketahui, dalam praksis kehidupan masyarakat demokratis (sementara konsep demokrasi sendiri berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), masalah kebebasab individu menjadi hal yang sangat ditekankan, termasuk kebebasan mengekspresikan aspirasi politik melalui pemberian ruang yang lebar bagi setiap individu (termasuk perempuan) untuk berpartisipasi dalam proses politik dan penentuan kebijakan.
Artinya, secara konseptual demokrasi memberi hak partisipasi tersebut secara mutlak kepada rakyat tanpa kecuali. Hanya saja, Karen apada faktanya konsep masyarakat yang demokratis ini sesungguhnya tidak (akan) pernah terwujud kecuali pada masyarakat yunani kuno yang merupakan Negara kota dengan jumlah penduduk sangat sedikit, maka untuk menjembatani kemustahilan ini, demokrasi mengharuskan adanya sistem perwakilan, yang dengan itu aspirasi individu-individu rakyat dalam masyarakat ditampung dan direpresentasikan oleh wakil-wakil mereka di parlemen.
Adanya konsep perwakilan inipun, pada tataran praktisnya ternyata tidak mudah pula untuk diterapkan, Karena secara factual tidak mungkin mempersatukan aspirasi masyarakat yang multiragam. Oleh karena itu, dalam teori demokrasi kita pun mengenal istilah mekanisme mayoritas dalam proses pengambilan keputusannya, dengan asumsi bahwa keberadaan para wakil rakyat benar-benar merepresentarikan aspirasi masyarakat secara keseluruhan.
Masalahnya, seperti disinyalir oleh Alexis de Tocqueville yang mencermati fakta penerapan demokrasi di Amerika, prinsip mayoritas ini sering berubah menadi tirani minoritas. Akibatnya, kekuasaan mayoritas ini mau tidak mau harus digandengkan dengan jaminan perlindungan HAM, kebebasan, keterbukaan, da keadilan dalam kesetaraan.
Itulah mengapa saat ini kita melihat bahwa ide kesetaraan serta kebebasan berpikir, bertindak, berpendapat, dan beragama menjadi sangat inhern dan bahkan menjadi tolok ukur untuk menilai demokratis tidaknya suatu masyarakat.
Cara pandang dalam perspektif demokrasi seperti inilah yang mendasari langkah perjuangan aktivis perempuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Setidaknya mereka melihat, bahwa demokrasi telah memberikan harapan yang besar bagi kaum perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Persoalannya, kultur yang ada selama ini mereka anggap’masih kurang demokratis’ sehingga tidak memberikan ruang gerak yang besar bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya berkiprah di kancah public, terutama di dunia politik.
Berkenaan dengan fenomena arus balik ini, ada sebuah buku berjudul, What Our Mother Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women, yang ditulis oleh Danielle Crittenden (1999). Buku tersebut menggambarkan ‘kegalauan tersembunyi’ yang dialami kaum perempuan Amerika di balik berbagai sukses dan ‘kenyamanan’ yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Buku ini merupakan hasil penelitian selama 10 tahun tentang fakta kehidupan perempuan modern yang ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang tak lebih dari sekedar mitos itu.
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan