Di akui bahwa banyaknya persoalan perempuan memang telah memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan. Simpati ini kemudian mengkristal menjadi sebuah "kesadaran" untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. Gerakan kesadaran inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah "feminisme".
Kalangan feminis percaya bahwa ketimpangan pembagian peran yang selama ini terjadi –dimana perempuan kadung terplot denga peran-peran "non-strategis" atau "non-produktif" (sebutan untuk peran-peran domestic) dan karenanya mereka termarginalisasi, tersubordinasi, dan sebagainya- erat kaitannya dengan persoalan gender yang menurut mereka sebenarnya hanya merupakan produk budaya semata. Dengan kata lain, kalangan feminis yakin bahwa konsep genderlah yang telah menciptakan ‘mitos-mitos peran gender yang merugikan perempuan’ seperti ini, termasuk secara keseluruhan telah memunculkan ketidakadilan sistemik tarhadap perempuan.
Sebagai contoh, akibat adanya pemahaman bahwa perempuan memiliki karakteristik emosional, lemah lembut, dan keibuan, maka banyak sekali pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan khusus perempuan –seperti guru TK, sekretaris, dan bahkan pembantu rumah tangga- yang dinilai lebih rendah dari pekerjaan laki-laki dan sering berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara dua jenis pekerjaan tersebut.
Sebaliknya, karena ada pemahaman bahwa laki-laki memilki karakteristik lebih kuat dan mampu melindungi, laki-laki diplot sebagai pencari nafkah yang pada akhirnya memiliki hak-hak tertentu atas perempuan termasuk hak kepemimpinan, hak memerintah, dan hak ditaati. Dalam aspek pekerjaan, pemahaman seperti ini lantas berimplikasi pada penetapan jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan leadership–seperti jabatan manajer, lurah, gubernur, dan bahkan pemimpin Negara─ sebagai pekerjaan laki-laki.
Persoalan yang paling sensitive dibicarakan adalah pandangan feminis terhadap keberadaan pandangan keagamaan ditengarai sebagai salah satu bahkan unsur terpenting dalam mengukuhkan ketimpangan gender. Dalam hal ini, tafsir-tafsir keagamaan dan kitab-kitab fikih (baca: Islam) sering menjadi sasaran bidik mereka, karena keduanya selama ini dianggap menjadi sumber referensi utama bagi pemahaman keagamaan umat Islam yang kemudian teraktualisasikan dalam praktek relasi sosial antar individu lain, termasuk relasi laki-laki dengan perempuan.
Selama ini diyakini bahwa tafsir-tafsir keagamaan dan kitab-kitab yang ada sebagian besar mengandung bisa gender (sexist). Hanya saja dalam hal ini, kalangan feminis (muslim) sendiri tidak berani (terang-terangan) menuduh, bahwa ajaran bisa gender ini merupakan "watak asli" agama itu sendiri.
Dengan kerangka berpikir seperti inilah kemudian kaum liberalis diantaranya Masdar F. mas’udi menyoroti wacana fikih perempuan dalam Islam termasuk fikih politik yang menurutnya banyak mengandung bisa gender. Masdar menunjuk pada beberapa kesimpulan hukum yang diyakini kini masih menjadi pemahaman mayoritas masyarakat Islam yang pada akhirnya justru memunculkan bentuk relasi masyarakat yang tidak berkeadilan, seperti masalah kesaksian dan kepemimpinan perempuan.
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan