Monday, March 2, 2009

Reposisi Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam (Bag. 3)

Lepas dari arus baik yang muncul, sesungguhnya memang banyak hal yang bisa kita kritisi dari gagasan feminisme ini.

Pertama, pemikiran yang menjadi akar dari persoalan perempuan adalah ketidakadilan gender yang melembaga secara universal dalam structure masyarakat yang patriarkhis sesungguhnya terbantah oleh kenyataan, bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negri kaum muslim, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, malnutrisi dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan sebagi implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang lemah dan rusak; dengan sistem politiknya yang bobrok, sistem ekonominya yang eksploitatif dan diskriminasi, sistem sosialnya yang rapuh, dan sebagainya.

Dengan demikian, berbagai tundingan yang mereka arahkan pada islam, yang sering dianggap sebagai biang ketidakadilan jender, terbukti salah kaprah. Pasalnya secara sistematik, negeri-negeri tersebut seluruhnya tidak menerapkan aturan-aturan islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang utuh (kaffah). Justru kapitalismelah yang seharusnya bertanggung jawab atas munculnya berbagai persoalan kehidupan manusia, termasuk didalamnya persoalan perempuan. Alasannya, sistem kapitelisme –yang lahir dari kelemahan akal manusia dan terlanjur berani mengklaim diri mampu mengatur kehidupan-inilah yang saat ini sedang diterapkan. Akar persoalan inilah yang seharusnya dipahami oleh kaum muslim dimanapun.


Dengan begitu, mereka tahu apa yang seharusnya mereka perjuangkan, yakni berupaya mencabut sistem rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka kemudian mengupayakan terwujudnya sebuah sistem yang bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi semua manusia tanpa kecuali. Sistem seperti ini tentu tidak mungkin berasl dari manusiayang nyata lemah dan terbatas, melainkan harus bersumber dari Zat Yang Matatahu dan Mahaadil. Sistem yang dimaksud tidak lain adalah sistem Islam secara akal bisa dibuktikan kebenarannya dan secara empirik telah terbukti kepurnaannya. Dengan demikian, slama kaum feminis dan kaum Muslim yang belum mau branjak dari keyakinannya tersebut, bisa dipastikan persoalan perempuan tak akan pernah terselesaikan, karena solusi yang ditawarkannya pun tidak pernah akan bisa mengakar.

Kedua, ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan yang absurd, ambivalen, dan utopis. Sebab, sebagaimana yang sudah dijelaskan kaum feminis meyakini bahwa sifat keperempuanan yang dianggap lebih banyak merugikan perempuan bukan merupakan bentukan yang alami (nature/kodrati) melainkan dibentuk oleh kebudayaan (nurture). Untuk itu, mereka menuntut adanya perubahan konstruksi social budaya, baik secara cultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak) maupun secara structural (melalui penetapan kebijakan). Dengan begitu, diharapkan pembagian peran yang berperspektif gender menjadi tidak ada lagi. Dalam hal ini, mereka yakin bahwa ketika suatau saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar gender)., pembagian peran domestic vis a vis publik pun akan cair dengan sendirinya. Artinya, semua orang dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat dan sebagainya.

Tentu saja, secara faktual ‘obsesi’ feminisme ini sangat tidak mungkin terwujud. Masalahnya, mereka seolah tak bisa menerima, mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama, mereka tak mungkin mengabaikan fakta bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda; laki-laki dan perempuan. Di samping itu, adanya perbedaan biologis ini bagaimana pun pasti akan membawa konsekuensi logis berupa pebedaan ‘penampakan’ yang mau tidak mau akan berimplikasi pada perbedaan peran dan fungsi keduanya di dalam kehidupan bermasyarakat. Yang seharusnya dipahami, adanya perbedaan peran dan fungsi inilah yang justru akan memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki atau perempuan.

Ketiga, cara pandang feminisme yang individualistic dan cenderung emosional juga telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan pandangan demokrasi yang menganggap, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi yang lain. Dengan demikian, di dalam demokrasi prinsip individualisme menjadi sesuatu yang sangat inhern. Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Akibatnya, pemecahan yang dimunculkannya pun hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan. Padahal realitasnya, masyarakat bukan hanya sekedar terbentuk dari individu-individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan, dan aturan yang diterapkan, yang disertai dengan interaksi terus-menerus.

Dengan perspektif yang benar inilah, persoalan yang muncul pada sebagian individu-baik komunitas laki-laki maupun komunitas perempuan- harus dipandang sebagai persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan holistic dan sistemik, sehingga solusi yang dihasilkannya akan menyelesaikan persoala secara tuntas.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan

Template by:

Free Blog Templates