Monday, March 2, 2009

Reposisi Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam (Bag.4)

Keempat, politik dalam perspektif feminisme seolah terbatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Akibatnya, ide pemberdayaan peran politik perempuan pun selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu melibatkan diri dan berkiprah seluas-luasnya di wilayah politik formal; seperti di lembaga-lembaga pemerintahan/kekuasaan, lembaga legislasi, partai politik, dan lain-lain. Hal ini sebetulnya terkait dengan logika feministic yang diilhami oleh teori mekanisme kekuasaan mayoritas yang ada dalam logika demokrasi, menurut logika demokrasi, jika mayoritas kekuasaan dan legislasi didominasi oleh kaum perempuan, atau setidaknya imbang, dipastikan perspektif perempuan akan berpengaruh secara signifikan dalam produk-produk keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan.
Dengan begitu, perempuan yang selama ini menjadi objek dan bahkan menjadi korban kebijakan yang penentunya didominasi oleh kaum laki-laki akan bisa terlindungi.


Padahal, dalam tataran praktis, masalah ada-tidaknya hubungan antara kiprah politik perempuan seperti itu dan tuntansnya persoalan perempuan masih sangat debatable.

Banyak fakta justru menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di parlemen atau di puncak kekuasaan sekalipun tidak lantas menjamin tuntasnya persoalan-persoalan perempuan. Justru yan terpenting dalam hal ini sebenarnya bukanlah masalah banyak atau tidaknya perempuan yang berkiprah di wilayah kekuasaan dan legislasi relative terhadap laki-laki, melainkan masalah ada-tidaknya perspektif yang benar dan seragam di seluruh ranah kehidupan masyarakat, sehingga masing-masing individu di dalamnya, apapun status dan kedudukannya, mengetahui secara pasti tujuan-tujuan luhur apa yang harus diperjuangkan secara bersama dan untuk kepentingan bersama.

Dengan demikian, pada kondisi ini siapapun yang menjadi pemerintah dan siapapun yang diperintah menjadi sesuatu yang ‘tidak penting lagi. Persoalannya, perspektif yang benar dan seragam ini seperti apa? Tentu harus berupa perspektif/cara pandang yang mendasar, yakni tegak di atas cara pandang (aqidah) tertentu. Kesahihan aqidah ini harus terlebih dahulu bisa dibuktikan secara akal dan fitrah serta mampu memberikan solusi tuntas atas persoalan-persoalan manusia secara keseluruhan (universal), simultan, sekaligus menjamin rasa keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa memandang dari sisi apakah dia laki-laki atau perempuan.

Dalam hal ini, secara akal dan fitrah aqidah Islam bisa dibuktikan kebenarannya oleh siapapun. Penerapan seluruh hukum-hukum Islam pun secara factual telah terbukti memberikan jaminan keadilan bagi semuanya, baik laki-laki maupun perempuan yang ada dalam komunitas apapun. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan politik perempuan seharusnya diarahkan pada terwujudnya visi Islam ini dalam masyarakat, sehingga upaya pemberdayaan tersebut tidak boleh terpisah dari upaya pemberdayaan peran politik masyarakat secara keseluruhan.

Dengan cara ini, akan tumbuh dalam masyarakat kesadaran politik yang benar yang mengarahkan mereka untuk segera merealisasikan perspektif tersebut dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan mereka. Sebab, yang dimaksud dengan politik pada dasarnya adalah pengaturan seluruh urusan umat dengan strategi tertentu dan cara pandang tertentu. Kesadaran politik sendiri- sebagai target dari pemberdayaan politik disini- adalah upaya manusia untuk memahami bagaimana memelihara urusannya dengan cara pandang tertentu pula. Dalam hal ini, cara pandang dan strategi yang dimaksud adalah Islam dan penerapan hukum Islam.

Kelima, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan-persoalan perempuan sehingga mereka harus ikut memperjuangkannya adalah anggapan yang sangat lemah. Sebab, demokrasi dan demokratisasi sendiri,baik dari sisi teori maupun prakteknya, mengandung banyak sekali ambivalensi.

Gagasan kedaulatan di tangan rakyat, sehingga rakyat berhak menentukan hukum (prinsip mayoritas), ternyata pada faktanya sellau lahirkan tirani minoritas, Karena kehendak rakyat yang mayoritas sering harus tunduk pada kehendak wakil rakyat yang minoritas. Artinya, teori representasi wakil rakyat di parlemen yang ada dalam demokrasi pada faktanya juga sulit untik diwujudkan.

Di sisi lain, demokrasi juga sangat mengagumkan prinsip individualisme yang mengaruskan adanya keyakinan terhadap pluralisme dan toleransi. Ini berarti, perespektif demokrasi harus bisa mengakomodasi perbedaab-perbedaan yang ada pada kelompok manusia. Artinya, perspektif perempuan yang diusung feminisme pun sebenarnya hanya akan dianggap sebagai salah satu bagian saja dari sekian banyak perspektif yang ada, yang keberagamannya ‘wajib’ dipertahankan oleh sistem ini.

Jika demikian faktanya, bagaimana mungkin kita bisa berharap sistem ini bisa memberikan kebaikan kepada ‘nasib’ perempuan, apalagi pada manusia secara keseluruhan? Proses pemberdayaan politik perempuan dalam perspektif feminisme memang melulu diukue dengan seberapa banyak representasi perempuan dalam semua tingkatan pengambilan keputusan, baik ditingkat eksekutif, legislative, yudikatif, dalam birokrasi pemerintahan, partai politik maupun kehidupan public lainnya.

Oleh karena itu, persoalan-persoalan seputar rendahnya kesadaran polotik perempuan yang dinilai dari rendahnya tingkat partisipasi dibidang-bidang tersebut menjadi agenda utama bagi perjuangan mereka. Hal ini tidak lain terkait dengan pandangan pokok feminisme yang menyebut bahwa akar persoalan perempuan adalah masalah ketidakadilan gender yang hanya bisa diselesaikan dengan cara melibatkan kaum perempuan dalam proses penetapan kebijakan dan legislasi.

Pada gilirannya, isu kepemimpinan perempuan, affirmative action (quota perempuan dalam parlemen), demokratisasi, dan lain-lain menadi hal yang mengemuka dalam diskursus keperempuanan di negeri Islam.

Kondisi ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari upaya kaum modernis liberalis yang secara gigih mengangkat persoalan kiprah politik perempuan kedalam diskursus keagamaan. Bahkan gagasan-gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi fikih politik menjadi isu yang paling banyak disorot dalam gagasan mengenai rekonstruksi fikih perempuan.

Di Indonesia, tak sedikit lembaga-lembaga keagamaan yang terlibat dalam diskursus ini. PP Muslimat NU bahkan secara khusus menyelenggarakan sebuah lokakarya dan Bahsul Masail yang membahas tentang Pemikiran Islam dan Wacana Politik tentang pengaruh kekusaan diskriminatif gender pada tanggal 2 maret 2000 di Jakarta. Acara ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan mereka atas fakta diskriminasi polotik atas perempuan yang ternyata (menurut mereka) bersumber dari pehaman keagamaan yang diperoleh dari kitab-kitab fikih. Salah satunya adalah ketika muncul penentangan sengit dari sebaian kalangan Islam (diwakili oleh Kongres Ulama Umat Islam dan beberapa partai politik Islam) yang menolak kepemimpinan Megawati–yang Perempuan–sebagai Kepala Negara dengan alasan Islam mengharamkan perempuan untuk duduk dalam wilayah kekuasaan. Mereka beranggapan, bahwa penolakan ini tidak sepenuhnya karena alas an agama, melainkan lebih sarat dengan kepentingan politik partai-partai islam dalam bursa pencalonan kepemimpinan nasional yang memanfaatkan agama dan isu keperempuanan sebagai senjatanya. Parahnya, dugaan ini memmang terbukti ketika pada moment politik lain, paratai-partai Islam tersebut justru mencabut ‘sikap’ mereka sebelumnya dan kemudian berbondong-bondong mendukung kepemimpinan Megawati – yang ‘masih’ seorang perempuan; lagi-lagi dengan menggunakan isu agam sebagai alas an perubahan sikapnya; bahwa dalam kondisi darurat, Islam membolehkan perempuan menjadi kepala Negara. Ironis!.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan

Template by:

Free Blog Templates